Ada seorang sahabat saya yang memanggil isterinya dengan sapaan, “cinta…” Jika ia bicara melalui telepon dengan isterinya, nadanya sangat mesra dan sesekali terdengar kata, “cin…”. Jadi, “cin…” itu penggalan dari kata “cinta”, aiih, terdengarnya bahagia sekali isterinya itu setiap hari selalu disapa mesra dengan kata “cinta”. Siapapun orang yang mendengarnya, tak peduli lagi nama asli perempuan yang berbahagia itu; Ngatini, Juminten, Salbiah, Kasiyem, atau siapapun, nama indahnya adalah “cinta”.
Sahabat lainnya, menyebut pasangannya dengan “cantik”, kalau sudah mendengar langsung ia menyapa isterinya, “cantik abang”, -coba bayangkan, ia menyapa isterinya dengan dua kata itu dengan logat asli melayu- duh duh duh, serasa bergetar langit mau runtuh. Kuat sekali hati lembut si cantik itu setiap saat mendapat sapaan yang menggetarkan, dan hatinya tak juga runtuh. Padahal, seperti saya bilang, langit saja terasa bergetar ketika saya yang mendengarnya.
Sungguh, siapapun perempuan itu, benar-benar cantik, lumayan cantik, agak cantik atau bahkan tidak bisa dibilang cantik sekalipun, akan berbunga-bunga hatinya jika kekasih hatinya, belahan jiwanya menyapanya dengan kata “cantik”. Ia akan merasa menjadi perempuan paling cantik sedunia sepanjang sapaan itu terus meluncur deras dari lidah suaminya. Cinderella, puteri salju, dan semua pemenang kontes puteri kecantikan di manapun di dunia ini seolah tak mampu menandingi kecantikannya.
Ada lagi lelaki yang bertipe penyayang, sapaan kepada isterinya pun “say”, “yank” atau “ayank”. Sama dengan si “cinta” dan si “cantik”, lelaki penyayang ini sampai-sampai menulis nama isterinya di buku telepon selulernya dengan kata “say”, “ayank”, “sayangku”, “my dear”, “babes” dan lain sebagainya. Tak hanya itu, nada dering untuk si “ayank” ini pun dibuat khusus, bisa lagu-lagu kesayangan isterinya, atau lagu yang menjadi lagu kenangan mereka berdua. Wallpaper teleponnya juga disesaki oleh foto sang isteri. Di dalamnya, terdapat puluhan foto-foto tercantik sang isteri hasil bidikannya sendiri.
Lelaki tipikal pelindung, menyapa isterinya dengan panggilan “adik”, dan seraya menyebut dirinya “abang” kepada isterinya. Cinta dan sayang itu, konon melahirkan rasa pengorbanan. Salah satu bentuk pengorbanan sang pecinta adalah senantiasa melindungi orang yang dicintainya. Perempuan manapun yang terus menerus disapa “adik” oleh kekasihnya, akan merasa aman, nyaman dan terlindungi. Tak peduli si “abang” kurus kerempeng, namun ia sangat yakin si kerempeng itu akan berani menggasak preman bertubuh kekar dan berotot yang mencoba mengganggu perempuan terkasihnya.
Yang agak lazim terdengar dari kebanyakan pasangan suami isteri, terlebih yang sudah punya anak adalah membahasakan panggilan kepada pasangan seperti sang anak memanggil ibu atau ayahnya. Memang terdengar agak lucu, seorang suami memanggil isterinya “bunda”, “ummi” atau “Ibu”. Panggilan itu cukup pas bila ia melakukannya di depan anaknya atau untuk mengarahkan kepada anaknya, misalnya, “Nanda dipanggil bunda tuh…”. Tetapi kadang, tidak ada si buah hati pun panggilan “bunda” itu tetap dipakai para suami untuk menyapa isterinya. Begitu pun sebaliknya, si bunda memanggilnya suaminya “Ayah”.
Tenang, apapun itu panggilannya, sepanjang masih indah terdengar tentu tidak masalah. Say, cin, cantik, adik, atau bunda, tetaplah panggilan-panggilan sayang yang membuat perempuan mana pun merasa tersanjung dan hatinya dipenuhi bunga. Karena ada pula di sekitar kita para suami atau isteri yang memanggil pasangannya dengan sapaan yang rasanya tidak sedap didengar, tidak ada nilai estetikanya sama sekali, bahkan tidak menjunjung tinggi kenyataan hati yang senang dipuji.
Coba simak, ada seorang suami yang memanggil isterinya “…sek” lantaran hidung si isteri memang tidak bisa dibilang mancung. Ada isteri yang disapa, “ting” karena rambutnya keriting, dan… ada pula perempuan-perempuan yang dipanggil suaminya, “ndut” atau “mbot”, karena bobot tubuhnya yang melebihi ukuran standar. Bayangkan lagi ada suami atau isteri yang saling memanggil pasangannya dengan nama lahir, atau lebih buruk lagi dengan sebutan “kamu” dan “elu”.
Jujur, saya tidak pernah melakukan survei atau bertanya langsung kepada para isteri yang mendapat julukan “sek, ting, ndut dan mbot” itu. Tetapi toh hati manusia itu sama, bahwa salah satu sifat dasar manusia adalah merasa dirinya istimewa. Panggilan atau sapaan yang indah adalah bagian dari wujud mengistimewakan seseorang, terlebih itu isteri atau suami sendiri.
Walau ada juga para isteri yang tidak keberatan dipanggil “sek, ndut, ting dan mbot”, saya juga tidak pernah terbayangkan kalau –maaf- misalnya isterinya bertangan sebelah, apa mungkin dipanggil “tung”, maksudnya si buntung. Atau suaminya hanya memiliki satu kaki, relakah ia bila isterinya memanggil, “… cang” untuk si pincang. Mari kita bayangkan perasaan Aisyah isteri Rasulullah yang mendapat sapaan “humairah” si pipi kemerah-merahan.
Saya pernah bertanya kepada seorang sahabat yang kerap disapa “handsome” oleh isterinya. Meskipun saya tahu betul bahwa sebetulnya ia tidak betul-betul “handsome”, tetapi panggilan itu berpengaruh besar kepada dirinya. Dia bilang, “siapapun manusia perlu dihargai, dan penghargaan tertinggi yang pernah saya dapatkan seumur hidup adalah cara dia menyapa saya”.
Jadi, apa panggilan sayang untuk pasangan Anda?
Sahabat lainnya, menyebut pasangannya dengan “cantik”, kalau sudah mendengar langsung ia menyapa isterinya, “cantik abang”, -coba bayangkan, ia menyapa isterinya dengan dua kata itu dengan logat asli melayu- duh duh duh, serasa bergetar langit mau runtuh. Kuat sekali hati lembut si cantik itu setiap saat mendapat sapaan yang menggetarkan, dan hatinya tak juga runtuh. Padahal, seperti saya bilang, langit saja terasa bergetar ketika saya yang mendengarnya.
Sungguh, siapapun perempuan itu, benar-benar cantik, lumayan cantik, agak cantik atau bahkan tidak bisa dibilang cantik sekalipun, akan berbunga-bunga hatinya jika kekasih hatinya, belahan jiwanya menyapanya dengan kata “cantik”. Ia akan merasa menjadi perempuan paling cantik sedunia sepanjang sapaan itu terus meluncur deras dari lidah suaminya. Cinderella, puteri salju, dan semua pemenang kontes puteri kecantikan di manapun di dunia ini seolah tak mampu menandingi kecantikannya.
Ada lagi lelaki yang bertipe penyayang, sapaan kepada isterinya pun “say”, “yank” atau “ayank”. Sama dengan si “cinta” dan si “cantik”, lelaki penyayang ini sampai-sampai menulis nama isterinya di buku telepon selulernya dengan kata “say”, “ayank”, “sayangku”, “my dear”, “babes” dan lain sebagainya. Tak hanya itu, nada dering untuk si “ayank” ini pun dibuat khusus, bisa lagu-lagu kesayangan isterinya, atau lagu yang menjadi lagu kenangan mereka berdua. Wallpaper teleponnya juga disesaki oleh foto sang isteri. Di dalamnya, terdapat puluhan foto-foto tercantik sang isteri hasil bidikannya sendiri.
Lelaki tipikal pelindung, menyapa isterinya dengan panggilan “adik”, dan seraya menyebut dirinya “abang” kepada isterinya. Cinta dan sayang itu, konon melahirkan rasa pengorbanan. Salah satu bentuk pengorbanan sang pecinta adalah senantiasa melindungi orang yang dicintainya. Perempuan manapun yang terus menerus disapa “adik” oleh kekasihnya, akan merasa aman, nyaman dan terlindungi. Tak peduli si “abang” kurus kerempeng, namun ia sangat yakin si kerempeng itu akan berani menggasak preman bertubuh kekar dan berotot yang mencoba mengganggu perempuan terkasihnya.
Yang agak lazim terdengar dari kebanyakan pasangan suami isteri, terlebih yang sudah punya anak adalah membahasakan panggilan kepada pasangan seperti sang anak memanggil ibu atau ayahnya. Memang terdengar agak lucu, seorang suami memanggil isterinya “bunda”, “ummi” atau “Ibu”. Panggilan itu cukup pas bila ia melakukannya di depan anaknya atau untuk mengarahkan kepada anaknya, misalnya, “Nanda dipanggil bunda tuh…”. Tetapi kadang, tidak ada si buah hati pun panggilan “bunda” itu tetap dipakai para suami untuk menyapa isterinya. Begitu pun sebaliknya, si bunda memanggilnya suaminya “Ayah”.
Tenang, apapun itu panggilannya, sepanjang masih indah terdengar tentu tidak masalah. Say, cin, cantik, adik, atau bunda, tetaplah panggilan-panggilan sayang yang membuat perempuan mana pun merasa tersanjung dan hatinya dipenuhi bunga. Karena ada pula di sekitar kita para suami atau isteri yang memanggil pasangannya dengan sapaan yang rasanya tidak sedap didengar, tidak ada nilai estetikanya sama sekali, bahkan tidak menjunjung tinggi kenyataan hati yang senang dipuji.
Coba simak, ada seorang suami yang memanggil isterinya “…sek” lantaran hidung si isteri memang tidak bisa dibilang mancung. Ada isteri yang disapa, “ting” karena rambutnya keriting, dan… ada pula perempuan-perempuan yang dipanggil suaminya, “ndut” atau “mbot”, karena bobot tubuhnya yang melebihi ukuran standar. Bayangkan lagi ada suami atau isteri yang saling memanggil pasangannya dengan nama lahir, atau lebih buruk lagi dengan sebutan “kamu” dan “elu”.
Jujur, saya tidak pernah melakukan survei atau bertanya langsung kepada para isteri yang mendapat julukan “sek, ting, ndut dan mbot” itu. Tetapi toh hati manusia itu sama, bahwa salah satu sifat dasar manusia adalah merasa dirinya istimewa. Panggilan atau sapaan yang indah adalah bagian dari wujud mengistimewakan seseorang, terlebih itu isteri atau suami sendiri.
Walau ada juga para isteri yang tidak keberatan dipanggil “sek, ndut, ting dan mbot”, saya juga tidak pernah terbayangkan kalau –maaf- misalnya isterinya bertangan sebelah, apa mungkin dipanggil “tung”, maksudnya si buntung. Atau suaminya hanya memiliki satu kaki, relakah ia bila isterinya memanggil, “… cang” untuk si pincang. Mari kita bayangkan perasaan Aisyah isteri Rasulullah yang mendapat sapaan “humairah” si pipi kemerah-merahan.
Saya pernah bertanya kepada seorang sahabat yang kerap disapa “handsome” oleh isterinya. Meskipun saya tahu betul bahwa sebetulnya ia tidak betul-betul “handsome”, tetapi panggilan itu berpengaruh besar kepada dirinya. Dia bilang, “siapapun manusia perlu dihargai, dan penghargaan tertinggi yang pernah saya dapatkan seumur hidup adalah cara dia menyapa saya”.
Jadi, apa panggilan sayang untuk pasangan Anda?