[center][img]https://i.servimg.com/u/f64/13/54/53/14/10401810.jpg[/img]
[/center]
Anda mungkin pernah terenyak kaget ketika mendengar pembicaraan putra atau putri Anda yang masih duduk di TK B dengan temannya. Putri Anda mengaku telah memiliki pacar. Memang sih, ketika sedang mengobrol dengan temannya, putri Anda tidak jelas-jelas menyebutkan nama pujaan hatinya. Pembicaraan di antara keduanya berlangsung sambil bermain. “Pacarku kan Daffa....” begitu kata si kecil.
Ya, umumnya orangtua pasti akan kaget mendengar kata “pacar” atau “pacaran” yang muncul dari mulut anak-anak prasekolah. Wajarkah? “Wajar kok!” tukas Seni S Sanusi, Psi, psikolog sekaligus konselor TK dan SD Al Azhar, Jakarta. Maksudnya, wajar saja kalau anak prasekolah mengatakan demikian.
Orangtua tak perlu kelewat cemas karena definisi pacar atau pacaran di usia ini berbeda dengan remaja. Di usia ini, buat anak “pacar” lebih identik dengan teman dekat, teman bermain yang mengasyikkan, dan lain-lain. Memang, bila ditinjau dari sudut perkembangan sosial emosi, anak prasekolah mulai menjalin pertemanan atau “dekat”, memeluk, dan mencium sebagai ungkapan sayang, senang berbicara dengan orang yang disayang, dan saling memberikan hadiah. Namun, umumnya hal ini dilakukan dengan orang yang lebih dewasa dari usianya, bukan dengan teman sebaya.
Wajar pula bila anak usia ini juga sudah dapat memilih temannya yang cantik atau ganteng. Ini karena jika dilihat dari perkembangan persepsi anak usia prasekolah sudah dapat memersepsi secara visual obyek yang "indah" dan "buruk", yang cantik dan tampan, dan sebagainya. Lagi pula secara alamiah pun, manusia akan cenderung memerhatikan obyek yang memiliki penampilan fisik lebih cantik dan tampan. Jadi, wajar bila perhatian si prasekolah terfokus pada temannya yang lebih cantik atau tampan. Namun, ketertarikan anak tetap masih sebatas pada sosok teman dekat, tak ada maksud yang lebih dari itu.
Di usia prasekolah, anak belum memiliki kebutuhan akan pujaan hati seperti pada usia remaja, misalnya. Pada rentang usia prasekolah, mereka sebenarnya masih disibukkan untuk memenuhi kebutuhan mendasar mereka, yaitu makan, minum, istirahat, dan bermain. Selain juga si prasekolah masih bersikap egosentris, dimana fokus perhatian mereka adalah kebutuhan pribadinya, sehingga masih senang memaksakan keinginan.
Jadi, jangan pernah membayangkan, konsep berpacaran si prasekolah sama dengan anak-anak remaja. Konsep tentang pacaran yang dipahami oleh si prasekolah sebatas hanya terlihat berduaan, ada kontak fisik, dan bermain bersama. Persis yang sering mereka lihat di tayangan televisi dan iklan-iklan. Tidak akan ada pertengkaran, perbedaan pendapat, dan lain-lain. Untuk itu, tak perlu terlalu dikhawatirkan.
[b]Alihkan perhatiannya[/b]
Lalu dari mana anak mendapatkan kata "pacar", "pacaran”, atau bahkan "perjodohan"? Boleh jadi itu didapat dari tayangan televisi yang banyak bercerita mengenai hubungan dengan lawan jenis, misalnya cerita-cerita Disney seperti Cinderella, Snow White, dan lain-lain, yang selalu dikaitkan dengan putri cantik dan pangeran tampan. Mungkin juga dari sinetron atau bahkan reality show yang banyak mengupas masa pacaran di saat remaja. Bahkan, bisa jadi pula orang-orang terdekat memberikan pengaruh kepada anak tentang hubungan dengan lawan jenis; bisa saudara, paman, atau sosok dekat lainnya yang secara tak sadar “mengenalkan” arti pacaran.
Nah, ada kemungkinan kondisi ini membuat anak terpaku pada teman dekatnya. Bermain selalu dengan teman dekat itu, dan mengabaikan teman yang lain. Jika ini terjadi, orangtua perlu mengenalkan anak pada teman-temannya yang lain. Dengan begitu, kemampuan sosialisasinya semakin kaya karena dia berinteraksi dengan beragam karakter anak. Jadi, ajak anak bermain dengan teman yang lain. Bila “pacar”-nya adalah satu kelompok di sekolah, mintalah bantuan pihak sekolah (guru kelas) untuk memindahkan anak ke kelompok yang lain.
Orangtua juga perlu menyeleksi tayangan televisi. Dampingi anak ketika menonton. Jangan biarkan anak mengonsumsi tontonan yang memperlihatkan relasi lawan jenis terlalu dini, walaupun hanya sekadar gambar atau kartun. Selain itu, isi jadwal anak dengan berbagai aktivitas positif seperti keterampilan yang dapat mengasah kemampuan motorik halus dan kasar anak. Dengan begitu, fokus perhatian adalah pada pengembangan rasa ingin tahunya dan keterampilan dirinya.
Tak kalah penting, hindari terlalu membesar-besarkan minat anak ketika mulai menyinggung mengenai pacaran. Walau itu dilakukan dengan tujuan iseng sekalipun. Maksudnya, ketika anak mulai menyinggung atau mengobrol tentang pacaran, jangan malah ditanggapi walaupun hanya sekadar bercanda, apalagi sampai mengolok-oloknya. Ini akan membuat anak bersikap malu-malu. Kondisi ini akan bertambah buruk bila teman-temannya ikut menggoda. Tentunya, ini akan memengaruhi rasa percaya dirinya. Oleh karena itu, sebaiknya ketika ada obrolan tentang pacaran, segera alihkan kepada tema lain yang lebih berkaitan dengan dunia anak-anak, seperti permainan yang sedang tren, film anak-anak, dan lain-lain.
[/center]
Anda mungkin pernah terenyak kaget ketika mendengar pembicaraan putra atau putri Anda yang masih duduk di TK B dengan temannya. Putri Anda mengaku telah memiliki pacar. Memang sih, ketika sedang mengobrol dengan temannya, putri Anda tidak jelas-jelas menyebutkan nama pujaan hatinya. Pembicaraan di antara keduanya berlangsung sambil bermain. “Pacarku kan Daffa....” begitu kata si kecil.
Ya, umumnya orangtua pasti akan kaget mendengar kata “pacar” atau “pacaran” yang muncul dari mulut anak-anak prasekolah. Wajarkah? “Wajar kok!” tukas Seni S Sanusi, Psi, psikolog sekaligus konselor TK dan SD Al Azhar, Jakarta. Maksudnya, wajar saja kalau anak prasekolah mengatakan demikian.
Orangtua tak perlu kelewat cemas karena definisi pacar atau pacaran di usia ini berbeda dengan remaja. Di usia ini, buat anak “pacar” lebih identik dengan teman dekat, teman bermain yang mengasyikkan, dan lain-lain. Memang, bila ditinjau dari sudut perkembangan sosial emosi, anak prasekolah mulai menjalin pertemanan atau “dekat”, memeluk, dan mencium sebagai ungkapan sayang, senang berbicara dengan orang yang disayang, dan saling memberikan hadiah. Namun, umumnya hal ini dilakukan dengan orang yang lebih dewasa dari usianya, bukan dengan teman sebaya.
Wajar pula bila anak usia ini juga sudah dapat memilih temannya yang cantik atau ganteng. Ini karena jika dilihat dari perkembangan persepsi anak usia prasekolah sudah dapat memersepsi secara visual obyek yang "indah" dan "buruk", yang cantik dan tampan, dan sebagainya. Lagi pula secara alamiah pun, manusia akan cenderung memerhatikan obyek yang memiliki penampilan fisik lebih cantik dan tampan. Jadi, wajar bila perhatian si prasekolah terfokus pada temannya yang lebih cantik atau tampan. Namun, ketertarikan anak tetap masih sebatas pada sosok teman dekat, tak ada maksud yang lebih dari itu.
Di usia prasekolah, anak belum memiliki kebutuhan akan pujaan hati seperti pada usia remaja, misalnya. Pada rentang usia prasekolah, mereka sebenarnya masih disibukkan untuk memenuhi kebutuhan mendasar mereka, yaitu makan, minum, istirahat, dan bermain. Selain juga si prasekolah masih bersikap egosentris, dimana fokus perhatian mereka adalah kebutuhan pribadinya, sehingga masih senang memaksakan keinginan.
Jadi, jangan pernah membayangkan, konsep berpacaran si prasekolah sama dengan anak-anak remaja. Konsep tentang pacaran yang dipahami oleh si prasekolah sebatas hanya terlihat berduaan, ada kontak fisik, dan bermain bersama. Persis yang sering mereka lihat di tayangan televisi dan iklan-iklan. Tidak akan ada pertengkaran, perbedaan pendapat, dan lain-lain. Untuk itu, tak perlu terlalu dikhawatirkan.
[b]Alihkan perhatiannya[/b]
Lalu dari mana anak mendapatkan kata "pacar", "pacaran”, atau bahkan "perjodohan"? Boleh jadi itu didapat dari tayangan televisi yang banyak bercerita mengenai hubungan dengan lawan jenis, misalnya cerita-cerita Disney seperti Cinderella, Snow White, dan lain-lain, yang selalu dikaitkan dengan putri cantik dan pangeran tampan. Mungkin juga dari sinetron atau bahkan reality show yang banyak mengupas masa pacaran di saat remaja. Bahkan, bisa jadi pula orang-orang terdekat memberikan pengaruh kepada anak tentang hubungan dengan lawan jenis; bisa saudara, paman, atau sosok dekat lainnya yang secara tak sadar “mengenalkan” arti pacaran.
Nah, ada kemungkinan kondisi ini membuat anak terpaku pada teman dekatnya. Bermain selalu dengan teman dekat itu, dan mengabaikan teman yang lain. Jika ini terjadi, orangtua perlu mengenalkan anak pada teman-temannya yang lain. Dengan begitu, kemampuan sosialisasinya semakin kaya karena dia berinteraksi dengan beragam karakter anak. Jadi, ajak anak bermain dengan teman yang lain. Bila “pacar”-nya adalah satu kelompok di sekolah, mintalah bantuan pihak sekolah (guru kelas) untuk memindahkan anak ke kelompok yang lain.
Orangtua juga perlu menyeleksi tayangan televisi. Dampingi anak ketika menonton. Jangan biarkan anak mengonsumsi tontonan yang memperlihatkan relasi lawan jenis terlalu dini, walaupun hanya sekadar gambar atau kartun. Selain itu, isi jadwal anak dengan berbagai aktivitas positif seperti keterampilan yang dapat mengasah kemampuan motorik halus dan kasar anak. Dengan begitu, fokus perhatian adalah pada pengembangan rasa ingin tahunya dan keterampilan dirinya.
Tak kalah penting, hindari terlalu membesar-besarkan minat anak ketika mulai menyinggung mengenai pacaran. Walau itu dilakukan dengan tujuan iseng sekalipun. Maksudnya, ketika anak mulai menyinggung atau mengobrol tentang pacaran, jangan malah ditanggapi walaupun hanya sekadar bercanda, apalagi sampai mengolok-oloknya. Ini akan membuat anak bersikap malu-malu. Kondisi ini akan bertambah buruk bila teman-temannya ikut menggoda. Tentunya, ini akan memengaruhi rasa percaya dirinya. Oleh karena itu, sebaiknya ketika ada obrolan tentang pacaran, segera alihkan kepada tema lain yang lebih berkaitan dengan dunia anak-anak, seperti permainan yang sedang tren, film anak-anak, dan lain-lain.