[img]http://www.kompas.com/data/photo/2010/01/05/1651455p.jpg[/img]
Hukum perkawinan menempatkan perempuan menikah tak lagi memiliki hak atas tubuhnya karena menjadi milik suami. Perempuan bergantung kepada suami.
Perempuan masih saja diposisikan lemah dalam keluarga, terutama hubungan perkawinan. Hukum, baik yang berlandaskan aturan agama maupun negara, belum berpihak pada keadilan, terutama atas hak perempuan sebagai dirinya maupun istri.
Dengan menikah, tubuh perempuan menjadi milik suami, istri harus mengikuti apa kata suami dalam rumah tangga. Penetapan usia pernikahan juga belum berpihak pada hak keadilan perempuan. Hal inilah kemudian yang mendorong pernikahan usia anak di bawah 18 tahun.
Hukum negara dan hukum agama perlu dibahas bersama. Pendekatan sesuai konteks sosial masyarakat perlu dilakukan dengan melibatkan aktivis dan pemikir progresif untuk melakukan perubahan, yakni hukum yang lebih berkeadilan terhadap perempuan.
Hal ini disampaikan dalam diskusi buku Mengenal Hak Kita: Perempuan, Islam, Hukum dan Adat di Dunia Islam dengan pembicara Komisioner Komnas Perempuan Husein Muhammad dan Direktur Yayasan Jurnal Perempuan Mariana Amiruddin, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (18/3/2010).
Prinsipnya, kata Husein, keadilan dan kemaslahatan harus menjadi dasar dalam membuat hukum. Hukum bisa berubah apabila tidak ditemukan kebaikan sosial.
Menurut Husein, tak mudah menemukan Fiqh Islam yang melindungi hak perempuan untuk konteks hari ini. Fiqh itu sendiri adalah pandangan, pendapat, faham seseorang atau kolektif, yang sifatnya tidak mengikat. Produk Fiqh bercorak patriarkis mendominasi seluruh ruang domestik termasuk dalam pernikahan. Seperti nikah, maknanya adalah perempuan dimiliki suami. Akibatnya, istri tak memiliki hak seksual atas suaminya dan juga kontrol atas dirinya sendiri karena seluruh tubuhnya adalah milik suami. Dampaknya, perempuan sebagai istri tertutup dan malu untuk mengungkapkan hasratnya terhadap suami.
Hal lain bisa ditemukan dalam kepemimpinan dalam rumah tangga, di mana perempuan tidak memiliki hak sebagai pemimpin. Dampaknya bagi perempuan adalah sulit mengambil keputusan dalam rumah tangga, bahkan atas dirinya. Istri akhirnya sangat bergantung kepada suami. Hak asasi perempuan sebagai istri menjadi ternafikan.
"Fiqh bisa bersifat adil terhadap perempuan, yakni dengan mencari dan menyeleksi produk Fiqh yang relevan dengan perspektif keadilan. Fiqh menjadi pandangan yang akan selalu melahirkan perbedaan pendapat. Karenanya, keputusan negara harus diambil. Keputusan negara mengikat dan menghapus kontroversi," papar Husein.
Sedangkan menurut Mariana, hukum perkawinan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menjadi salah satu produk prioritas yang perlu direvisi. Tujuannya untuk memberikan hak dan keadilan atas perempuan sebagai dirinya dan istri.
"Perubahan harus dimulai dari negara. Mulai dari Mahkamah Konstitusi yang lebih bisa memberikan ruang bagi pakar dengan berbagai perspektif untuk memberikan argumennya dalam me-review produk hukum, kemudian peran legislator dan eksekutif," papar Mariana.
Senada dengan Mariana, UU Perkawinan dalam pandangan Husein masih mengadopsi Fiqh Islam konvensional dan belum sepenuhnya memenuhi hak keadilan perempuan.
Hukum perkawinan menempatkan perempuan menikah tak lagi memiliki hak atas tubuhnya karena menjadi milik suami. Perempuan bergantung kepada suami.
Perempuan masih saja diposisikan lemah dalam keluarga, terutama hubungan perkawinan. Hukum, baik yang berlandaskan aturan agama maupun negara, belum berpihak pada keadilan, terutama atas hak perempuan sebagai dirinya maupun istri.
Dengan menikah, tubuh perempuan menjadi milik suami, istri harus mengikuti apa kata suami dalam rumah tangga. Penetapan usia pernikahan juga belum berpihak pada hak keadilan perempuan. Hal inilah kemudian yang mendorong pernikahan usia anak di bawah 18 tahun.
Hukum negara dan hukum agama perlu dibahas bersama. Pendekatan sesuai konteks sosial masyarakat perlu dilakukan dengan melibatkan aktivis dan pemikir progresif untuk melakukan perubahan, yakni hukum yang lebih berkeadilan terhadap perempuan.
Hal ini disampaikan dalam diskusi buku Mengenal Hak Kita: Perempuan, Islam, Hukum dan Adat di Dunia Islam dengan pembicara Komisioner Komnas Perempuan Husein Muhammad dan Direktur Yayasan Jurnal Perempuan Mariana Amiruddin, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (18/3/2010).
Prinsipnya, kata Husein, keadilan dan kemaslahatan harus menjadi dasar dalam membuat hukum. Hukum bisa berubah apabila tidak ditemukan kebaikan sosial.
Menurut Husein, tak mudah menemukan Fiqh Islam yang melindungi hak perempuan untuk konteks hari ini. Fiqh itu sendiri adalah pandangan, pendapat, faham seseorang atau kolektif, yang sifatnya tidak mengikat. Produk Fiqh bercorak patriarkis mendominasi seluruh ruang domestik termasuk dalam pernikahan. Seperti nikah, maknanya adalah perempuan dimiliki suami. Akibatnya, istri tak memiliki hak seksual atas suaminya dan juga kontrol atas dirinya sendiri karena seluruh tubuhnya adalah milik suami. Dampaknya, perempuan sebagai istri tertutup dan malu untuk mengungkapkan hasratnya terhadap suami.
Hal lain bisa ditemukan dalam kepemimpinan dalam rumah tangga, di mana perempuan tidak memiliki hak sebagai pemimpin. Dampaknya bagi perempuan adalah sulit mengambil keputusan dalam rumah tangga, bahkan atas dirinya. Istri akhirnya sangat bergantung kepada suami. Hak asasi perempuan sebagai istri menjadi ternafikan.
"Fiqh bisa bersifat adil terhadap perempuan, yakni dengan mencari dan menyeleksi produk Fiqh yang relevan dengan perspektif keadilan. Fiqh menjadi pandangan yang akan selalu melahirkan perbedaan pendapat. Karenanya, keputusan negara harus diambil. Keputusan negara mengikat dan menghapus kontroversi," papar Husein.
Sedangkan menurut Mariana, hukum perkawinan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menjadi salah satu produk prioritas yang perlu direvisi. Tujuannya untuk memberikan hak dan keadilan atas perempuan sebagai dirinya dan istri.
"Perubahan harus dimulai dari negara. Mulai dari Mahkamah Konstitusi yang lebih bisa memberikan ruang bagi pakar dengan berbagai perspektif untuk memberikan argumennya dalam me-review produk hukum, kemudian peran legislator dan eksekutif," papar Mariana.
Senada dengan Mariana, UU Perkawinan dalam pandangan Husein masih mengadopsi Fiqh Islam konvensional dan belum sepenuhnya memenuhi hak keadilan perempuan.