[img]http://www.kompas.com/data/photo/2009/10/28/0931116p.jpg[/img]
Kita sering mempermasalahkan orang yang mempunyai kebiasaan impulsive buying. Namun sebenarnya, orang yang jarang berbelanja pun bisa merugikan dirinya sendiri, bahkan orang lain. Saking hemat atau malasnya menyimpan sesuatu barang (termasuk obat-obatan), ia kerap dibikin repot ketika tiba-tiba membutuhkannya.
Dua tipe pembelanja yang bertolakbelakang ini biasa disebut over buyer dan under buyer. Masing-masing sebenarnya memiliki keuntungan, namun sering pula mengakibatkan kekacauan. Coba lakukan tes, tipe yang manakah Anda:
Anda seorang over-buyer jika:
* Anda membeli memberi pakaian bayi yang lucu-lucu, namun si kecil keburu bertumbuh besar sebelum Anda ingat telah menyimpan pakaian tersebut di lemari.
* Anda membeli stok barang-barang seperti shampoo atau obat batuk dalam jumlah banyak.
* Anda seringkali membeli gadget canggih atau peralatan rumah tangga yang belum Anda miliki, dengan berpikir, "Ini pasti akan berguna nanti." ”
* Anda membuat daftar toko-toko yang ingin Anda kunjungi sebelum Anda traveling di sebuah kota atau negara.
* Secara berkala Anda terpaksa membuang benda-benda seperti: susu, obat-obatan, bahkan sekaleng koktil buah, karena sudah kadaluarsa.
* Anda membeli pernak-pernik dan berkata dalam hati, "Ini pasti bakal jadi hadiah yang manis!", tapi tidak tahu kepada siapa hadiah tersebut akan Anda berikan.
* Anda berpikir bahwa, "Membeli barang-barang ini menunjukkan bahwa saya bertanggungjawab, terorganisasi, dan penuh perhatian."
Anda seorang under-buyer jika:
* Anda sering ragu membeli item seperti blazer berkualitas baik yang didiskon 50%, atau little black dress yang sering Anda perlukan untuk menghadiri acara semi formal, dan kerap mendapati barang sudah terjual habis ketika Anda tiba di toko.
* You’re suspicious of specialized objects and resist buying things dedicated very specific uses: suit bags, special plastic plates and cutlery for children, hand cream, rain boots, hair conditioner.
* Anda sering memerlukan barang lain sebagai pengganti stok yang telah habis, seperti menggunakan sabun badan untuk pengganti sabun pembersih wajah, atau membeli shampo dalam sachet secara eceran karena tidak sempat membeli shampo.
* Anda sering menemukan barang-barang yang Anda perlukan, namun membatalkan pembelian karena berpikir, "Lain kali saja lah", atau, "Kayaknya saya enggak perlu-perlu amat deh."
* Jika harus membeli sesuatu, Anda membeli sesedikit mungkin. Misalnya, membeli bensin hanya Rp 50.000. Padahal, Anda toh harus membawa mobil tiap hari.
* Anda bangga dengan diri Anda karena berprinsip, "Saya tidak berbelanja terlalu banyak, dan hal ini menunjukkan bahwa saya hemat dan bukan seseorang yang konsumtif."
Seorang under-buyer sering merasa stres karena tidak memiliki barang-barang yang sebenarnya diperlukan. Jika menstruasi datang lebih cepat, Anda sering harus berangkat ke minimarket 24 jam di tengah malam untuk membeli pembalut. Bila di kantor, Anda juga sering meminta obat-obatan pada teman. Meskipun demikian, Anda tetap tak ingin mengubah kebiasaan ini.
Sebaliknya, orang yang over-buyer merasa stres karena terjebak dengan barang-barang yang belum tentu akan dipakai. Anda juga sering kehabisan tempat untuk meletakkan barang-barang tersebut. Mereka bahkan merasa tertekan melihat jumlah pernak-pernik yang sebelumnya mereka yakini akan terpakai, dan betapa banyak yang akhirnya terpaksa dibuang ke tempat sampah.
Nasihat untuk para under-buyer: belilah apa yang Anda perlukan, tanpa menunda lagi. Jangan sampai Anda terpaksa berlari pada pagi buta atau tengah malam karena membutuhkan sesuatu yang dapat Anda peroleh jauh hari sebelumnya.
Sedangkan untuk over-buyer: pikirkan kembali sebelum Anda membuka dompet. Anda tidak memerlukan tisu gulung untuk stok setahun bukan?
Kita sering mempermasalahkan orang yang mempunyai kebiasaan impulsive buying. Namun sebenarnya, orang yang jarang berbelanja pun bisa merugikan dirinya sendiri, bahkan orang lain. Saking hemat atau malasnya menyimpan sesuatu barang (termasuk obat-obatan), ia kerap dibikin repot ketika tiba-tiba membutuhkannya.
Dua tipe pembelanja yang bertolakbelakang ini biasa disebut over buyer dan under buyer. Masing-masing sebenarnya memiliki keuntungan, namun sering pula mengakibatkan kekacauan. Coba lakukan tes, tipe yang manakah Anda:
Anda seorang over-buyer jika:
* Anda membeli memberi pakaian bayi yang lucu-lucu, namun si kecil keburu bertumbuh besar sebelum Anda ingat telah menyimpan pakaian tersebut di lemari.
* Anda membeli stok barang-barang seperti shampoo atau obat batuk dalam jumlah banyak.
* Anda seringkali membeli gadget canggih atau peralatan rumah tangga yang belum Anda miliki, dengan berpikir, "Ini pasti akan berguna nanti." ”
* Anda membuat daftar toko-toko yang ingin Anda kunjungi sebelum Anda traveling di sebuah kota atau negara.
* Secara berkala Anda terpaksa membuang benda-benda seperti: susu, obat-obatan, bahkan sekaleng koktil buah, karena sudah kadaluarsa.
* Anda membeli pernak-pernik dan berkata dalam hati, "Ini pasti bakal jadi hadiah yang manis!", tapi tidak tahu kepada siapa hadiah tersebut akan Anda berikan.
* Anda berpikir bahwa, "Membeli barang-barang ini menunjukkan bahwa saya bertanggungjawab, terorganisasi, dan penuh perhatian."
Anda seorang under-buyer jika:
* Anda sering ragu membeli item seperti blazer berkualitas baik yang didiskon 50%, atau little black dress yang sering Anda perlukan untuk menghadiri acara semi formal, dan kerap mendapati barang sudah terjual habis ketika Anda tiba di toko.
* You’re suspicious of specialized objects and resist buying things dedicated very specific uses: suit bags, special plastic plates and cutlery for children, hand cream, rain boots, hair conditioner.
* Anda sering memerlukan barang lain sebagai pengganti stok yang telah habis, seperti menggunakan sabun badan untuk pengganti sabun pembersih wajah, atau membeli shampo dalam sachet secara eceran karena tidak sempat membeli shampo.
* Anda sering menemukan barang-barang yang Anda perlukan, namun membatalkan pembelian karena berpikir, "Lain kali saja lah", atau, "Kayaknya saya enggak perlu-perlu amat deh."
* Jika harus membeli sesuatu, Anda membeli sesedikit mungkin. Misalnya, membeli bensin hanya Rp 50.000. Padahal, Anda toh harus membawa mobil tiap hari.
* Anda bangga dengan diri Anda karena berprinsip, "Saya tidak berbelanja terlalu banyak, dan hal ini menunjukkan bahwa saya hemat dan bukan seseorang yang konsumtif."
Seorang under-buyer sering merasa stres karena tidak memiliki barang-barang yang sebenarnya diperlukan. Jika menstruasi datang lebih cepat, Anda sering harus berangkat ke minimarket 24 jam di tengah malam untuk membeli pembalut. Bila di kantor, Anda juga sering meminta obat-obatan pada teman. Meskipun demikian, Anda tetap tak ingin mengubah kebiasaan ini.
Sebaliknya, orang yang over-buyer merasa stres karena terjebak dengan barang-barang yang belum tentu akan dipakai. Anda juga sering kehabisan tempat untuk meletakkan barang-barang tersebut. Mereka bahkan merasa tertekan melihat jumlah pernak-pernik yang sebelumnya mereka yakini akan terpakai, dan betapa banyak yang akhirnya terpaksa dibuang ke tempat sampah.
Nasihat untuk para under-buyer: belilah apa yang Anda perlukan, tanpa menunda lagi. Jangan sampai Anda terpaksa berlari pada pagi buta atau tengah malam karena membutuhkan sesuatu yang dapat Anda peroleh jauh hari sebelumnya.
Sedangkan untuk over-buyer: pikirkan kembali sebelum Anda membuka dompet. Anda tidak memerlukan tisu gulung untuk stok setahun bukan?